PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah
yang sangat unik, dimana ia diciptakan dari badan jasmaniah dan aspek ruhaniah,
badan jasmaniah terdiri dari materi dan mempunyai kecenderungan pada yang
bersifat materi pula. Dari aspek biologis manusia sangat bergantung pada
hal-hal yang material, seperti; sandang pangan dan papan (kebutuhan pokok,
primer) bahkan kebutuhan sekunder. Sedang
jiwa manusia berasal dari ruh yang suci dengan kecenderungan yang
bersifat ruhaniah pula. Dari sisi ini, manusia sangat bergantung pada hal-hal
yang bersifat sepiritual, membutuhkan ketenangan, ketentraman dan
bergantung pada Zat yang maha Mutlak.
Keunikan manusia yang lain terletak pada
kemampuannya dalam merenungkan, memikirkan tentang alam semesta (cosmos), Tuhan
(Theos), bahkan ia dapat mempersoalkan dirinya sendiri, siapa, bagaimana, untuk
apa, dari mana, dan mau kemana ujung kehidupanya itu.
Dari aspek perenungan dan pemikiran
manusia yang terus menerus mengalir dalam dirinya itu, akhirnya manusia
menemukan gagasan, ide, rumusan, konsep yang beraneka ragam, dan corak, yang
dapat diidentikkan kepada pemikirannya, sehingga muncullah tokoh-tokoh dibidang
pemikiran masing-masing.
Adalah Ikhwan Al Shafa suatu pergerakan
dan kelompok pemikir yang berada di Basrah dan berkembang sampai ke Bagdad juga
menghasilkan gagasan-gagasan di bidang filsafat, pendidikan dan lain-lain.
1
B. Pembatasan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah
disebutkan di atas maka penulis dalam makalah ini, hal-hal yang terkait dengan
Ikhwan Al Shafa, sebagai berikut:
1. Sejarah lahirnya Ikhwan Al Shafa
2. Tokoh-tokoh Ikhwan Shafa
3. Karya-karya Ikhwan Al Shafa
4. Pemikiran-pemikiran Ikhwan Al Shafa di bidang
filsafat dan pendidikan
C. Tujuan Penulisan Makalah
Begitu banyak tokoh pemikir dalam
berbagai bidang dan disiplin keilmuan, untuk itu penulisan makalah ini
bertujuan antara lain:
1. Untuk mengetahui sejarah kapan lahirnya
IkwanAl Shafa
2. Untuk mengetahui tokoh-tokoh Ikhwan Al
Shafa
3. Untuk mengetahui karya-karya Ikhwan Al
Shafa
4. Untuk mengetahui pemikiran-pemikiran
Ikhwan Al Shafa
5. Untuk menambah wawasan penulis.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Lahirnya Ikhwan Al Shafa
(Persahabatan Suci)
Ikhwan Al Shafa adalah nama sekelompok pemikir
muslim rahasia (Filosofiko-Religion) berasal dari sekte Syi’ah Ismailiah yang
lahir di Timur tengah komunitas Sunni sekitar abad ke-4 / 1000 M di Basrah.1
Kelompok ini merupakan gerakan bawah tanah yang mempertahankan semangat
berfilsafat khususnya dan pemikiran rasional pada umumnya di kalangan pengikutnya.
Kerahasiaan kelompok ini yang juga menamakan diri dengan Khulan Al Wafa’,Ahl Al
Adl, dan Abna Al Hamd, baru terungkap setelah berkuasanya Dinasti Buwaihi pada
tahun 983 M di Bagdad yang berfaham Syi’ah.2 Ada kemungkinan
kerahasiaan kelompok pemikir Islam ini disebabkan oleh faham Taqiyah
(menyembunyikan keyakinan) ajaran Syi’ah karena basis kegiatannya berada di tengah-tengah
masyarakat Sunni yang tidak sejalan dengan Ideologinya.3
Munculnya
organisasi yang bergerak dalam bidang keilmuan dan juga bertendensi politik
ini, ada hubunganya dengan kondisi dunia Islam ketika itu. Sejak pembatasan
teologi rasional Mu’tazillah sebagai
madzhab negara oleh Al Mutawakkil dan kaum rasional dicopot dari jabatan pemerintah
kemudian diusir dari Bagdad. Kondisi yang tidak kondusif ini berlanjut pada
Khalifah-khalifah sesudahnya. Penguasa melarang diajarkan kesusasteraan, ilmu
dan filsafat, sehingga hal ini menyebabkan cara berfikir tradisional,4
dan meredupkan keberanian berfikir umat.
Pada sisi lain, berjangkit pola hidup bermewah-mewah dikalangan pembesar negara, menjadi
pendorong mereka untuk mendekati para khalifah untuk menanamkan pengaruhnya sehingga
timbul persaingan yang tidak sehat yang mengarah pada timbulnya dekadensi
moral. Itulah diantara faktor yang melatarbelakangi lahirnya Ikhwan Al Shafa
yang ingin menyelamatkan masyarakat dan mendekatkannya kebahagiaan yang
diridhoi Allah, karena mereka beranggapan bahwa syariat telah dinodai
bermacam-macam kejahilan dan dilumuri beranekaragam kesesatan, dan satu-satunya
jalan untuk membersihkannya adalah filsafat.5
Pada awal munculnya, Ikhwan Al Shafa berkembang di
Basrah, kemudian membuka cabang di Baghdad tidak lama kemudian tumbuh dan
berkembang di beberapa tempat.6 Belum diketahui pastinya kapan tahun
berdirirnya Ikhwan Al Shafa, tetapi berita tentang keberadaannya diketahui pada
abad ke-4 Hijriyah atau abad ke-10 Masehi. Dan bisa saja kelompok ini tumbuh
sebelumnya.7 Strategi untuk memperluas gerakannya, Ikhwan Al Shafa
mengirimkan anggotanya ke kota-kota tertentu untuk mengajak siapa saja yang
berminat pada keilmuan dan kebenaran, lalu membentuk cabang di tempat-tempat
tersebut, walaupun demikian, militansi anggota dan kerahasiaan mereka tetap dijaga.
Dalam sejarah islam, kelompok Ikhwan Al Shafa tampil
eksklusif dengan gerakan reformatif pendidikannya, karena mereka itu adalah
ta’limiyyun (berisi pengajaran), dalam melangsungkan kegiatan keilmuan dan
politiknya.
Kecenderungan ta’limy ini, sangat kelihatan dalam
praktek politiknya yaitu dalam pola relasi dan organisasi antar mereka berada
pada penjenjangan dakwah (penyebaran misi). Penjenjangan keanggotaan dan
aksinya, mereka terdiri dari empat tingkatan :
1. Ikhwan Al Abrar Al Rumana. (yang
baik-pengasih)
Kelompok
remaja dan pemuda yang berusia 15-30 tahun, yang pertumbuhan dan perkembangan
jiwanya relatif jiwanya masih selaras
dengan fitrah, mempunyai karakter jernih jiwanya, murah hati, manis kata dan
cepat faham serta pikirannya masih kuat. Mengingat jenjang usianya kelompok ini
berstatus murid, maka sepantasnya mereka mengikuti bahkan dituntut untuk tunduk
dan patuh secara sempurna pada gurunya.8
2. Ikhwan Al Akhyar Al Fudlola (yang
terpilih-mulia)
Yaitu
kelompok orang dewasa dengan usia 30-40 tahun, mereka bercirikan Concern
terhadap Ikhwan, pemurah, lembut, santun, kasih sayang dan siap berkorban demi
persaudaraan (mereka tingkatan para guru).9
3. Ikhwan Al Fudlala Al Karim (para saudara
yang utama dan mulia).
Yakni kelompok
usia 40-50 tahun, mereka ini bercirikan otoritatif, direktif, pemersatu atas
pertentangan yang ada dengan cara bijak serta rekonstruktif, dalam kenegaraan
kedudukan mereka sama dengan sultan atau hakim, dan mereka sudah dapat
mengetahui Namus Ilahi (malaikat Tuhan) dengan baik dan mengetahui aturan ketuhanan
sebagaimana tingkatan para Nabi.10
4. Al Kamal
Yakni
kelompok yang berusia 50 tahun ke atas, mereka disebut dengan tingkat Al
Muqorrobin Min Allah, karena mereka sudah mampu memahami hakikat sesuatu
sehingga mereka telah terbuka untuk menyaksikan kebenaran langsung dengan mata
hati.11
Tingkatan Ikhwan sebagaimana disebutkan di atas
menunjukkan bahwa betapa selektifnya mereka memilih anggota-anggotanya, dan
tidak semua orang dapat diterima sebagai anggota Ikhwan kecuali mereka yang
benar-benar memenuhi syarat dan kwalitas yang unggul terutama dalam bidang
ketajaman pemikiran.
Pada masa
khalifah Abbasiyah dikuasai dinasti Salajikah yang berpaham sunni, menilai
gerakan kelompok ini mengganggu stabilitas keamanan dan ajaran-ajarannya
dipandang sesat, maka pada tahun 1150 M khalifah Al Muntanzid mengintruksikan
agar seluruh karya filsafat ikhwan diserahkan kepadanya untuk dibakar.
B. Tokoh-Tokoh Ikhwan Al Shafa
Identitas Ikhwan Al Shafa bersama anggota-anggotanya
tidak begitu jelas karena mereka selalu merahasiakan aktifitasnya. Para ahli
sejarah, menurut As Sijistani (391 H/1000 M)12 hanya mengetahui lima
nama tokoh pemuka Ikhwan Al Shafa yaitu : Abu Sulaiman Muhammad Ibnu Nashir Al
Busthi, yang terkenal dengan gelar Al Muqaddasi, Abu Hasan Ali Bin Harun Al
Zanjani, Zaid Bin Rifa’ah, Abu Ahmad Al Mihrajani (An Nahrajuri), dan Abu Hasan
Al Aufi. Al Qafthi berkomentar tentang mereka dengan menukil pendapat Abu
Hayyan At-Tauhidi,
Kelompok ini diperkuat oleh persaudaraan, saling
berbagi atas dasar persahabatan serta berkumpul atas dasar keluhuran, kesucian
dan ketulusan. Selanjutnya mereka membuat suatu madzhab dengan beranggapan
bahwa mereka dapat menempuh jalan menuju ridho Allah SAW.13 Mereka
berpendapat bahwa syariat telah dikotori oleh berbagai macam kebodohan dan
kesesatan, dan tidak ada jalan untuk membersihkannya kecuali dengan filsafat.14
Sebab filsafat mengandung hikmah keyakinan dan maslahat ijtihadiyah.
Mereka berusaha
melakukan kompromi antara filsafat yunani dan syariat islam dan beranggapan jika
filsafat yunani dan syariat arab bersatu, maka akan terjadi kesempurnaan. Hal
yang demikian juga pernah terjadi perhatian Al Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu
Rasyd, dengan alasan bahwa filsafat yunani dan syariat islam sama-sama
menyiarkan satu kebenaran. Hanya saja Ikhwan Al Shafa tidak mengambil islam
sebagaimana yang terdapat dalam Alqur’an dan sunnah Nabi, tetapi mereka
mencampurkannya dengan berbagai sekte agama dan kepercayaan dengan anggapan
bahwa madzhab mereka mencakup semua madzhab.15 Mereka memandang
bahwa agama sejati adalah persahabatan yang tulus, pergaulan yang baik,
penguasaan ilmu, pendidikan jiwa dan proses mengikuti akal.
C. Karya-Karya Ikhwan Al Shafa
Ikhwan Al Shafa menghasilkan karya yang monumental
sebanyak 52 risalah yang mereka namakan
dengan Rasa’il Ikhwan Al Shafa, dengan keluasan dan kwalitas beragam
yang mengkaji subjek-subjek berspektrum luas mulai dari musik sampai sihir.16
Ia merupakan ensiklopedis popular tentang ilmu dan filsafat yang memberikan
cermin pedagogis dan kultural pada masa itu. Ditinjau dari segi isi, Rasa’il
ini dapat diklarifikasikan menjadi empat bidang :
1. 14 risalah tentang matematika, yang
mencakup geometri, astronomi, geografi, logika, music, seni dan modal.
2. 17 risalah berisi tentang fisika dan
ilmu alam, di dalamnya mencakup geneologi, mineralogy, botani, hidup dan
matinya alam, senang sakitnya alam, keterbatasan, manusia dan kemampuan
kesadaran.
3. 10 risalah tentang jiwa, mencakup
metafisika Phytagoranisme dan kebangkitan alam.
4. 11 risalah
tentang ilmu-ilmu ketuhanan, hubungan alam dengan Allah, ideologi mereka,
kenabian dan keadaannya, tindakan rohani, bentuk konstitusi politik, kekuasaan
Allah, magic dan azimah.17
D. Pemikiran-Pemikiran
Ikhwan Al-shafa
d.1.
Pemikiran Filsafat Ikhwan Al-shafa
d.1.a.
Al- Tawfiq dan Talfiq
Pemikiran
al-tawfiq (rekonsilasi) Ikhwan Al-Shafa terlihat pada tujuan pokok bidang
keagamaan yang hendak mereka capai, yakni merekonsiliasikan atau menyelaraskan
antara agama dan filsafat dan juga antara agama-agama yang ada. Usaha ini
terlihat dari ungkapan mereka bahwa syariah telah dikotori bermacam-macam
kejahilan dan dilumuri berbagai kesesatan. Satu-satunya jalan untuk
memebersihkannya adalah filsafat. Usaha rekonsiliasi antara agama dan filsafat
sebenarnya telah dilakukan Al-Farabi dan Ibnu
Sina. Akan tetapi, bedanya kedua filosof muslim ini hanya mengupas
keselarasan kebenaran filsafat dan agama, sebagaimana yang termuat dalam Al-qur’an.
Sementara itu, Ikhwan Al-Shafa melangkah lebih jauh, mereka melepas sekat-sekat
perbedaan agama. Karenanya rekonsiliasi yang mereka maksud tidak hanya antara
filsafat dengan agama islam, namun juga antara filsafat dengan seluruh agama,
ajaran, dan keyakinan yang ada. Kemudian, menurut klaim mereka, apabila
dipertemukan dan disusun antara filsafat
Yunani dan syariah Arab, maka ia akan menghasilkan formulasi-formulasi yang
lebih sempurna.18
Pada pihak lain, tawfiq (rekonsiliasi) mereka
lakukan dengan cara mengambil ajaran-ajaran filsafat yang tidak bertentang
dengan ajaran Islam. Dengan kata lain, mereka memahami ajaran agama secara
rasional. Filsafat, menurut mereka , diawali dengan mencintai ilmu pengetahuan,
kemudian dengan filsafat juga memahami hakikat segala sesuatu, dan diakhiri
dengan beramal sesuai dengan pengetahuan.
Sebenarnya antara tujuan filsafat dan agama, menurut
Ikhwan Al-Shafa, adalah sama. Filsafat bertujuan untuk mendekatkan diri kepada
Allah sejauh kemampuan manusia dengan dasar ilmu yang benar, akhlak yang mulia
dan bertingkah laku yang terpuji. Sementara itu, agama juga dimaksudkan untuk
mendidik jiwa manusia dan mengantarkan mereka agar dapat mencapai kebahagiaan,
baik di dunia maupun di akhirat.
Jadi, dasar pemaduannya menurut mereka seperti telah
disebutkan terletak pada tujuan agama itu sendiri, yakni untuk mendekatkan diri
kepada Allah. Oleh karena itu, untuk mencapai maksud tersebut diperlukan
filsafat. Mereka sebenarnya tidak mengingkari informasi agama yang bernada
antropomorfis, tetapi untuk memahaminya mereka mengharuskan dengan jalan
takwil, karena menurut klaim mereka, Ikhwan Al Shafa termasuk kelompok yang
memiliki otoritas tentang ini, yakni termasuk dalam al-Rasikhun fi al-‘ilm.19
Selanjutnya,
mereka juga melakukan pemaduan antara agama-agama yang ada, seperti islam,
Kristen, Majuzi,Yahudi, dan lain-lainnya. Menurut mereka, tujuan semua agama
tersebut sama-sama untuk mendekatkan diri kepada Allah. Atas dasar itu mereka
menghimpun, menyusun, dan memadukan semua agama yang ada menjadi satu agama
khusus didasari atas asas filsafat.
Pemikiran ini termaktub dalam tujuan utama mereka
yang kedua, yakni bidang politik. Menurut mereka, Daulat Abbasiyah telah
menjadikan negara dalam kerusakan (al-fasad), sedangkan penduduknya telah
menjadi ahl al-syarr (jelek), yang
perbuatan-perbuatan mereka bermuara pada kekurangan dan kebinasaan. Justru
itulah negara baru yang mereka idamkan bagaikan laki-laki yang satu dalam
segala urusan dan jiwa yang satu dalam segala pengaturan. Sementara itu,
penduduknya adalah ahl al-khair
(baik) yang terdiri dari kaum ulama, ahli hikmah, dan orang yang utama atau
pilihan, mereka sepakat atas pendapat yang satu, mazhab yang satu, dan agama
yang satu.20
Usaha al-tawfiq diatas akan menghasilkan
kesatuan filsafat dan kesatuan mazhab. Implikasinya akan melahirkan apa yang
disebut dengan al-talfiq (elektik),
yang memadukan semua pemikiran yang berkembang
pada waktu itu, seperti pemikiran Persia, Yunani, dan semua agama.
Sementara itu, sumber ajaran mereka adalah Nuh, Ibrahim, Sokrates, Plato,
Zoroaster, Isa, Muhammad, dan Ali.21 Elektik (talfiq) yang mereka
lakukan ialah dengan cara mengambil ajaran-ajaran dari sumber mana pun yang
mereka nilai benar dan baik, selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Mereka tetap mengagungkan agama islam sebagai agama dan ajaran yang terbaik.
Usaha Al- talfiq seperti di atas ada yang menilai
bersifat idealis dan tidak mungkin membumi di alam nyata. Hal ini mengingat
sifat manusia yang heterogenitas, dimana masing-masing individu mempunyai natur
dan kemampuan yang berbeda. Namun, apabila dipahami secara cermat, ajaran
elektik (talfiq) Ikhwan Al-Shafa ini
bukanlah suatu kemustahilan karena yang mereka maksud ialah Islam ajaran utama
, dan ajaran-ajaran lain hanya sekedar pelengkap untuk memudahkan pemahaman
Islam itu sendiri.
d.1.b.
Ketuhanan
Dalam pembahasan masalah ketuhanan, Ikhwan Al Shafa
melandasi pemikirannya pada angka-angka atau bilangan. Menurut mereka ilmu
bilangan adalah “lidah” yang mempercakapkan tauhid, al-tanzih, dan meniadakan sifat dan tasybih serta dapat menolak atas orang yang mengingkari keesaan
Allah.22 Dengan kata lain, pengetahuan tentang angka membawa
pengakuan tentang keesaan Allah karena apabila angka satu rusak, maka rusaklah
semuanya.
Selanjutnya mereka katakan, angka satu sebelum angka
dua, dan dalam angka dua terkandung pengertian kesatuan. Dengan istilah lain,
angka satu adalah angka yang pertama dan angka itu lebih dahulu dari angka dua
dan lainnya. Oleh karena itu, keutamaan terletak pada yang dahulu, yakni angka
satu. Sementara angka dua dan lainnya terjadinya kemudian. Oleh karena itu,
terbuktilah bahwa Yang Maha Esa (Allah) lebih dahulu dari yang lainnya seperti
dahulunya angka satu dari angka lain.23
Dari pembicaraan di atas terlihat jelas besarnya
pengaruh Neopythagoreanisme yang dipadukan dengan filsafat keesaan Plotinus
pada Ikhwan Al Shafa. Barangkali kesan tauhid dalam filsafat mereka itulah yang
menarik Ikhwan Al Shafa mengambilnya sebagai argumen tentang keesaan Allah.
Tentang adanya Allah, menurut Ikhwan Al Shafa,
merupakan hal yang sangat mudah dan nyata. Hal ini disebabkan manusia dengan
fitrahnya dapat mengenal Allah dan seluruh yang ada ini akan membawa manusia
pada kesimpulan pasti tentang adanya Allah yang menciptakan segala yang ada.24
Sebagaimana Mu’tazilah, Ikhwan Al Shafa juga menolak
sifat dan antropomorfis bagi Allah, sebagaimana Yang Satu tidaklah tersusun.
Menurut mereka melekatkan sifat kepada Allah hanya sekedar metaforis, guna
memudahkan pemahaman bagi masyarakat awam. Sementara itu, Allah tidak dapat
diserupakan dan disetarakan dengan makhluk-Nya, seperti terpatri dalam
firman-Nya : Laisa kamislih syai’.
Tentang ilmu
Allah mereka katakan bahwa seluruh pengetahuan (al-ma’lumat) berada dalam ilmu Allah sebagaimana beradanya seluruh
bilangan dalam bilangan satu. Berbeda dengan ilmu para pemikir, ilmu Allah dari
zat-Nya sebagaimana bilangan yang banyak dari bilangan yang satu, yang meliputi
seluruh bilangan. Demikian pula ilmu Allah terhadap segala yang ada.25
d.1.c.
Emanasi
Filsafat emanasi Ikhwan Al Shafa terpengaruh oleh
Pythagoras dan Plotinus. Menurut mereka, Allah adalah pencipta dan mutlak Esa. Dengan
kemauan sendiri Allah menciptakan Akal Pertama atau Akal Aktif secara emanasi.
Kemudian, Allah menciptakan jiwa dengan perantaraan akal. Selanjutnya, Allah
menciptakan materi pertama (al-hayula
al-ula). Dengan demikian, kalau Allah kadim, lengkap, dan sempurna, maka
akal pertama ini juga demikian halnya. Pada Akal Pertama lengkap segala potensi
yang akan muncul pada wujud berikutnya. Sementara jiwa terciptanya secara
emanasi dengan perantaraan akal, maka jiwa kadim dan lengkap, tetapi tidak
sempurna. Demikian juga halnya materi pertama karena terciptanya secara emanasi
dengan perantaraan jiwa, maka materi pertama adalah kadim, tidak lengkap, dan
tidak sempurna.
Jadi, Allah tidak berhubungan dengan alam materi
secara langsung sehingga kemurnian tauhid dapat terpelihara dengan
sebaik-baiknya. Secara ringkas rangkaian proses emanasi itu sebagai berikut.
Allah Maha Pencipta dan dari-Nya timbullah :
a. Akal Aktif atau Akal Pertama (al-‘aql al Fa-‘al)
b. Jiwa Universal (al-Nafs al-Kulliyat)
c. Materi Pertama (al-Hayula al-Ula)
d. Alam Aktif (al-Thabi’at al Fa’ilat)
e. Materi Absolut atau Materi Kedua (al-Jism al-Muthlaq)
f. Alam Planet-Planet (‘alam al-Aflak)
g. Unsur-unsur terendah (‘Anashir al-Alam al-Sufla), yaitu air,
udara, tanah dan api
h. Materi gabungan, yang terdiri dari mineral,
tumbuh-tumbuhan, dan hewan.
14
Selaras dengan prinsip matematika Ikhwan Al Shafa,
kedelapan mahiyah di atas bersama zat
Allah yang mutlak, maka sempurnalah jumlah bilangan menjadi sembilan. Angka
Sembilan ini juga membentuk substansi organic pada tubuh manusia, yakni tulang,
sumsum, daging, urat, darah, saraf, kulit, rambut, dan kuku.
Proses penciptaan secara emanasi di atas, menurut
Ikhwan Al Shafa, terbagi menjadi dua :
a. Penciptaan sekaligus (daf’atan wahidah)
Penciptaan
sekaligus apa yang mereka sebut alam rohani, yakni Akal Aktif, Jiwa Universal,
dan Materi Pertama.
b. Penciptaan secara gradual (tadrij)
Penciptaan
secara gradual apa yang mereka sebut dengan alam jasmani, yakni Jisim Mutlak
dan seterusnya. Jisim Mutlak tercipta dalam zaman yang tidak terbatas dalam
periode yang panjang. Periode-periode ini akan membentuk perubahan-perubahan
dalam masa, seperti penciptaan dalam masa enam hari.26
Tentang alam
semesta, menurut Ikhwan Al Shafa, bukan kadim, tetapi baharu. Karena alam
semesta ini, menurut mereka, diciptakan Allah dengan cara emanasi secara
gradual, mempunyai awal, dan akan berakhir pada masa tertentu.27
Salah satu pemikiran Ikhwan Al Shafa yang paling
mengagumkan yakni pada rentetan kedelapan emanasi, ia telah mendahului, bahkan
melebihi Charles Darwin (1809-1882) tentang rangkaian kejadian di alam secara
evolusi. Darwin dalam evolusi biologisnya hanya bicara manusia diduga berasal
dari kera, sedangkan Ikhwan Al Shafa membicarakan emanasi dan evolusi. Dalam
rangkaian evolusinya, mereka menyebutkan alam mineral, alam tumbuh-tumbuhan,
alam hewan, dan alam manusia merupakan satu rentetan yang sambung menyambung.
Masing-masing dari alam ini yang mempunyai derajat tertinggi mempunyai hubungan
langsung dengan alam berikutnya yang mempunyai derajat terendah. Seperti alam
mineral derajat tertinggi mempunyai hubungan langsung dengan alam
tumbuh-tumbuhan yang mempunyai derajat terendah dan demikian seterusnya alam
tumbuh-tumbuhan dengan alam hewan dan alam hewan dengan alam manusia.28
d.1.d. Matematika
Dalam pembahasan matematika Ikhwan Al Shafa
dipengaruhi oleh Pythagoras yang mengutamakan pembahasannya tentang angka atau
bilangan. Bagi mereka angka-angka itu mempunyai arti spekulatif yang dapat
dijadikan dalil wujud sesuatu. Oleh sebab itu, ilmu hitung merupakan ilmu yang
mulia dibanding ilmu empiric karena tergolong ilmu ketuhanan.29
Ilmu bilangan berkaitan dengan planet-planet.
Masing-masing mempunyai tugas khusus. Bulan bertugas membuat tubuh manusia
tumbuh dan berkembang. Merkuri bertugas mencerdaskan akal. Matahari bertugas
member nikmat. Mars memberikan sifat keberanian, keperkasaan dan kemuliaan.
Yupiter membimbing manusia dalam pengembaraannya sampai pada kehidupan akhirat.
Termasuk pengiriman Nabi, juga berhubungan dengan peranan planet-planet
tersebut.
d.1.e. Jiwa Manusia
Jiwa manusia bersumber dari jiwa universal. Dalam
perkembangannya jiwa manusia banyak dipengaruhi materi yang mengitarinya. Agar
jiwa tidak kecewa dalam perkembangannya, maka jiwa dibantu oleh akal yang
merupakan daya bagi jiwa untuk berkembang.
Pengetahuan diperoleh melalui proses berpikir.
Anak-anak pada mulanya seperti kertas putih yang bersih yang belum ada coretan.
Lembaran putih tersebut akan tertulis dengan adanya tanggapan panca indra yang
menyalurkannya ke otak bagian depan yang memiliki daya imajinasi (al-quwwat al-mutakhayyilat). Dari sini
meningkat ke daya berfikir (al-quwwat
al-mufakkirat) yang terdapat pada otak bagian tengah. Pada tingkat ini
manusia sanggup membedakan antara benar dan salah, antara baik dan buruk,
setelah itu, disalurkan kedaya ingatan (al-quwwat
al-hafizhat) yang terdapat pada otak bagian belakang. Pada tingkat ini
seseorang telah sanggup menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh daya
berpikir. Tingkatan terakhir adalah daya berbicara (al-quwwat al-nathiqat), yaitu kemampuan mengungkapkan pikiran dan
ingatan itu melalui tutur kata yang bermakna kepada pendengar atau
menuangkannya lewat bahasa tulis kepada pembaca.
17
Manusia selain mempunyai indra zahir, juga memiliki
indra batin yang berfungsi mengolah hal-hal yang ditangkap oleh indra zahir
sehingga melahirkan konsep-konsep.30
Dalam tubuh manusia, jiwa memiliki tiga fakultas,
yaitu :
a. Jiwa tumbuhan
Jiwa
ini dimiliki oleh semua makhluk hidup, tumbuhan, hewan, dan manusia. Jiwa ini
terbagi dalam tiga daya : makan, tumbuh dan reproduksi.
b. Jiwa hewan
Jiwa
ini hanya dimiliki oleh hewan dan manusia, ia terbagi dalam dua daya :
penggerak dan sensasi (persepsi dan emosi).
c. Jiwa manusia
Jiwa
ini hanya dimiliki manusia. Jiwa yang menyebabkan manusia berpikir dan
berbicara.
Ketiga fakultas jiwa di atas bersama dengan
daya-dayanya bekerja sama dan menyatu dalam diri manusia. Di sinilah letak
kelebihan manusia dari makhluk ciptaan Allah yang lain.
Sementara itu, tentang kebangkitan di akhirat,
Ikhwan Al Shafa sama pendapatnya dengan filosof muslim pendahulunya, yakni
kebangkitan berbentuk rohani. Surga dan Neraka dipahami dalam makna hakikat.
Surga adalah kesenangan dan Neraka adalah penderitaan.
d.2.
Pendidikan
Menurut Ikhwan, aktivitas pendidikan dimulai sejak
sebelum kelahiran. Sebab, kondisi diri bayi dan perkembangannya sudah
dipengaruhi oleh keadaan kehamilan dan kesehatan sang ibu yang hamil. Dengan
demikian, perhatian pendidikan harus sudah diberikan sejak masa janin dalam
rahim, karena janin berada dalam rahim selama Sembilan bulan itu, adalah agar
sempurna bentuk dan kejadiannya, setiap orang berakal mengetahui bahwa janin
yang lahir dalam keadaan cacat dan tidak sempurna bisa menjadi tidak berguna di
dunia. Para dokter pun menasehati ibu-ibu hamil untuk berhati-hati dalam
bergerak dan beraktivitas, jangan sampai nantinya berdampak buruk bagi janin
yang ada dalam rahim. Yang diharapkan dengan hal itu tentunya agar si janin
lahir ke dunia dalam keadaan sehat dan normal.31 Hal-hal tersebut
dimaksudkan agar memberi pengaruh positif terhadap pertumbuhan dan perkembangan
intelektual dan kejiwaan janin.
Sumber-sumber pengetahuan menurut Ikhwan Al Shafa
terbagi menjadi empat dimensi :
1. Kitab suci yang diturunkan, semisal
Taurat, Injil, dan Al Quran
2. Kitab-kitab yang disusun oleh para hukama’ (orang-orang bijak) dan
filosof, baik berupa Matematika, Fisika-Kealaman, Sastra dan Filsafat
3. Alam, yakni bentuk empiris (phenoumenon) segala yang sesuatu
sebagaimana adanya
4. Perenungan alam semesta dan tata aturan
kosmiknya, atau sering disebut substansi noumenon,
ragam dan macamnya, serta kaitan fungsionalnya dengan kenyataan empiris (phenoumenon).
Penetapan adanya hubungan antara pengetahuan
intelektual ( kognisi ) dengan dasar-dasar fisiologis membukakan jalan bagi
kelompok Ikhwan untuk memformulasikan teori yang kokoh tentang mekanisme
terbentuknya pengetahuan intelektual atau konsep dan dampak induksi
terhadapnya. Ikhwan berpendapat bahwa para filosof berpikir tentang segala yang
ada (al-maujudat), pada awal mulanya
mereka mengamati person-person lain yang belum diamati, baik di masa yang telah
lalu maupun di masa yang akan datang. Akhirnya mereka sampai pada sebuah
konklusi bahwa semuanya berada dalam “bentuk” manusia (al-shurah al-insaniyyah). Yang berbeda di antara masing-masing
hanyalah sifat bukan esensi, semisal panjang pendeknya, dan hitam-putihnya.
Kesadaran kuat Ikhwan Al Shafa terhadap
urgensi indra dalam memperoleh pengetahuan dan imperasinya dalam keberadaan
manusia, baik dataran empiris-sensual maupun empiris-logis, membawa mereka pada
pengapresiasian peran dan fungsi fisik dan jasmaniah untuk kebahagiaan manusia
dan kehormatan hidupnya. Mereka secara khusus menulis tentang masalah ini dalam
risalah fashl al-siyasah al-jismaniyah
(Bab Pengaturan Fisik-Jasmaniah). Di sini, mereka menekankan perlunya
memperhatikan fisik-jasmaniah, memeliharanya dan mengaturnya dengan seksama
agar jangan sampai tidak terurus kebutuhan makan dan minumnya. “Sekiranya
kebutuhan makan, minum, gerak dan istirahat dari fisik jasmaniah terpenuhi
dengan baik, maka kamu akan sehat wal afiat”.32
Totalitas pendidikan merupakan aktivitas moral.
Mereka menyebutnya dengan al siyasah
al-nafsiyyah, agar moralmu menjadi baik, kebiasaanmu menjadi positif dan
tindakanmu menjadi lurus : mau menyampaikan amanat kepada yang berhak, pandai
mengendalikan diri, menghormati hak orang lain, bersikap baik terhadap
tetangga.
Bersikap
tulus kepada sesama, penuh cinta-kasih, tidak rakus, tidak suka berkeluh kesah,
bersikap empatik, berbuat baik tanpa pamrih, karena bila punya pamrih untuk
dibalas, maka tidak lagi bernilai kebaikan, atau punya pamrih disanjung, maka
ini adalah ke-nifaq-an, dan tidak
pantas bagi orang semacan itu berada di barisan makhluk ruhaniah yang mulia.33
Ø Pendidik (guru)
Ikhwan Al Shafa menempatkan pendidik (guru) pada
posisi strategis dan inti dalam kegiatan pendidikan. Mereka mempersyaratkan
kecerdasan, kedewasaan, kelurusan moral, ketulusan hati, kejernihan pikir, etos
keilmuan dan tidak fanatik buta pada diri pendidik.34
Ikhwan Al Shafa menganggap bahwa mendidik sama
dengan menjalankan fungsi “bapak” kedua, karena pendidik atau guru merupakan
bapak bagi dirimu, pemelihara pertumbuhan dan perkembangan jiwamu, sebagaimana
halnya kedua orang tuamu adalah ‘pembentuk’ rupa fisik-biologismu, maka guru
adalah ‘pembentuk’ rupa mental-rohaniahmu. Sebab, guru telah ‘menyuapi’ jiwamu
dengan ragam pengetahuan dan membimbingnya kejalan keselamatan dan keabadian,
seperti apa yang telah dilakukan oleh kedua oaring tuamu yang menyebabkan
tubuhmu terlahir kedunia, mengasuhmu dan mengajarimu mencari nafkah hidup di
dunia yang fana ini.
-
Peserta Didik
Merujuk kembali
pada konsep pemikiran kelompok Ikhwan Al-Shafa bahwa peserta didik ialah manusia yang ingin
mencapai kesempurnaan dunia dan akhirat. Ini dibuktikan dengan konsep mereka
tentang manusia yaitu manusia tersusun dari unsur fisik-biologis dan unsur
jiwa-rohaniah. Maka sejatinya kedua unsur tersebut memiliki perbedaan sifat dan
berlawanan kondisinya namun memiliki kesamaan dalam tindakan dan sifat
aksidentalnya dikarenakan unsur fisik biologisnya, manusia berkecenderungan untuk kekal di dunia dan hidup
selamanya. Sedangkan unsur jiwa-rohaniah manusia berkecenderungan untuk meraih
akhirat dan keselamatan disana.35 . Sejalan dengan
prinsip bahwa menuntut ilmu pengetahuan itu sebagai ibadah dan mendekatkan diri
kepada Allah, maka bagi peserta didik ( murid ) dikehendaki hal-hal sebagai
berikut:
a. Memuliakan guru dan bersikap rendah hati
atau tidak takabur.
b. Merasa satu saudara dan bangunan dengan
murid yang lain.
c. Menjauhkan diri dari mempelajari mazhab
yang menimbulkan kekacauan dalam pikiran.
d. Mempelajari berbagai jenis ilmu dan
berupaya sungguh-sungguh sehingga mencapai tujuan dari tiap ilmu tersebut.
e. Kurikulum
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ikhwan al-Shafa merupakan organisasi Islam militan yang
telah berhasil menghimpun pemikiran-pemikiran mereka dalam sebuah ensiklopedi, Rasail
Ikhwan al-Shafa. Melalui karya ini kita dapat memperoleh jejak-jejak ajaran
mereka, baik tentang ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama. Terlepas dari sisi
positif dan negatif, Ikhwan al-Shafa telah menjadi bagian kajian filsafat
pendidikan Islam, Filsafat Islam, bahkan Tafsir Al-Qur’an Esotoris. Inilah yang
dapat kita urai, dan masih banyak yang belum terurai.
Demikianlah teori-teori Ikhwan Al
Shafa tentang kependidikan dan tujuan-tujuannya yang bersifat sosial dan
intelektual. Barangkali ini merupakan teori paling lengkap yang pernah
dihasilkan oleh para ahli pendidikan Islam, suatu teori terpadu sistematik dan
berdasar analisa rasional. Mereka membingkai teori-teori tersebut dengan
kerangka moral utama berupa keharusan menguasai ilmu pengetahuan ( al-ilm )untuk
sarana peningkatan kualitas dan kemuliaan diri.
Dalam kerangka apresiasi tujuan
moral keilmuan, Ikhwan Al Shafa mengingatkan bahaya ulama jahat ( ulama’ al-su’ ), yakni ulama’ yang
bermoral rendah dan hina yang perlu dijauhi dan diwaspadai, seperti bersikap
sombong dan bangga diri, karena Nabi SAW pernah bersabda, “ Barangsiapa
bertambah ilmunya, namun tidak semakin tawadhu’ kepada Allah, tidak semakin
bersikapcinta kepada orang alim, maka ia hanya akan bertambah jauh dari Allah
B. Saran
Demikian pembahasan makalah yang
dapat penulis sajikan, semoga bermanfaat untuk menambah wawasan pembaca tentang
Ikhwan Al Shafa, sebagai salah satu aliran filsafat dalam Islam dan penggagas
teori pendidikan yang muncul di tengah belantika khazanah filsafat Islam dan
tokoh-tokoh pendidikan Islam yang lainnya.
Selanjutnya sebagai manusia yang pasti
mempunyai salah dan lupa,serta dalam penulisan makalah ini tidak mungkin sampai
pada tingkat kesempurnaan, oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan
kritik dari saudara pembaca yang budiman demi kesempurnaan makalah ini dan
pembuatan makalah-makalah yang berikutnya, serta untuk penyemangat bagi penulis
khususnya dan teman-teman pembaca yang budiman umumnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Amin
Ahmad, Zuhr Al Islam, Kairo: Dar Al
Kitab Al Araby, 1969.
Athiyas
Al Iraqy M, Alfalasifat Al Islamiyyat, Kairo:
Dar AlMa’arif, 1987.
Farwakh
Umar, Ikhwan Ash Shaffa, Beirut: Dar
Al Kitabal Lubani, 1981.
Ghalib Mustafa, Ikhwan Al Shafa Wa Khulan Al Wafa, Beirut:
Dar Al Maktabat Al . . Hilal, 1979.
Haitami
Mohammad, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung:
Gaya Media, 1983.
Jawwad Ridha M, Tiga Aliran Utama Pendidikan Islam,
Yogyakarta: PT.Tiara .. Wacana, 2002.
Nasution
Harun, Akal dan Wahyu Dalam Islam,
Jakarta: Universitas Indonesia, 1983.
S Praja Juhaya,
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam,
Bandung: CV.Pustaka . Setia, 2009.
Utsman Najati M,
Jiwa Dalam Pandangan Filosof Muslim, Bandung Pustaka Hidayah, 2002.
Zar Sirajuddin, Filsafat Islam ( Filsof dan Filsafatnya ), Jakarta:
PT. Grafindo .. Persada, 2004.